Artikel

Posted by Ruswadi on 06.59

Dalam pemilu kemarin, baik pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presidan (pilpres), masing-masing kontestan menjadikan pendidikan sebagai dagangan politik mereka dalam upaya meraup suara pemilih. Salah satu isu yang diangkat adalah perlunya mempermudah akses pendidikan bagi seluruh masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 11 ayat 1: yang berbunyi, “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskrminasi”.

Salah satu upaya mengatasi permasalahan diatas adalah melalui pendidikan kasetaraan, yaitu program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum mencakup program Paket A setara SD/MI, Paket B setara SMP/MTs , dan Paket C setara SMA/MA dalam upaya melayani peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung atau dalam posisi 'marginal' yang selalu terkungkung dalam kumparan kebodohan dan keterbelakangan, sehingga tidak bisa berperan aktif dalam menikmati proses pembangunan masyarakat.

Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa “ jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Artinya disini, ke tiga jalur pendidikan diakui keberadaannya oleh pemerintah, dengan demikian penyelenggaraan pendidikan kesetaraan ini pun telah memiliki hak eligibilitas yang sama dan setara dengan pemegang ijasah SD/MI, SMP/Mts dan SMA/MA untuk mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk melamar pekerjaan pada instansi pemerintah maupun swasta.

Sayangnya keberadaan pendidikan kesetaraan ini masih dipandang sebelah mata oleh “khalayak ramai”, penghargaan yang diberikan pemerintah kepada para Tutor dan penyelenggara program masih jauh panggang dari api. Kalau di pendidikan formal telah dikucurkan dana BOS/BOPDA maupun program sertifikasi bagi guru, maka pada pendidikan kesetaraan yang merupakan bagian dari pendidikan nonformal, kucuran dana penyelenggaraan dan dana insentif bagi Tutor jumlahnya masih dibawah upah minimum, itupun tidak semua Tutor mendapatkannya. Begitu juga dengan bantuan sarana prasarana sebagai pendukung proses belajar mengajar masih sangat terbatas (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali).

Padahal keberadaan pendidikan kesetaraan ini sangat terasakan manfaatnya bagi siswa yang tidak lulus Ujian Nasional (UN) bisa langsung mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK), termasuk bagi anggota TNI dan calon legislatif yang ingin menyesuaikan jenjang jabatan dan kepangkatannya dengan“mencari” ijasah kesetaraan. Artinya, fenomena seperti ini harus diterima sebagai tantangan untuk memperbaiki citra dan menjadi pemacu bagi Tutor pendidikan nonformal untuk menjadikan program kesetaraan ini memiliki daya tarik sebagai pengganti jalur persekolahan.

Dalam kampanye pemilihan presiden kemarin, masalah kualitas pendidikan juga dijadikan sebagai salah satu bahan kampanye yang me-nina bobok-kan para pemangku pendidikan seperti janji memperbaiki nasib pendidik dan tenaga kependidikan, sekolah gratis, rehabilitasi gedung sekolah, menambah sarana prasarana pendidikan dan tentunya mengevaluasi model ujian nasional yang senyatanya mencoreng dunia pendidikan karena ada sekitar 33 sekolah yang siswanya 100% tidak lulus ujian nasional dengan alasan “human error” .

Sekarang kampanye menebar janji untuk menjaring suara rakyat telah berlalu, “pemerintahan baru” pun telah terpilih melalui pemilihan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rakyat kini tinggal menunggu realisasi janji yang pernah ditebar. Begitu pula dunia pendidikan pasca pemilu, walau sedikit ragu, tetap menunggu janji perbaikan mutu pendidikan namun tetap terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Ke depan, banyak kalangan berharap Menteri Pendidikan Nasional harus memiliki kepakaran yang penuh yang berorientasi untuk kepentingan Negara, bangsa dan rakyat. Seorang calon menteri juga harus merupakan figure dengan aras moral tinggi, jujur dan tidak berurusan dengan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Andi Sulistiyono, guru besar hokum dari Universitas Sebelasa Maret (UNS) Surakarta (Kompas, 24/8).

Akhirnya, segenap insan pendidikan nonformal, dengan penuh optimis menyongsong hadirnya tatanan baru sistem pendidikan yang semakin memberdayakan dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dengan tetap berorientasi kepada dunia usaha dan dunia industri yang terus berpacu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era kesejagatan (globalisasi). Semoga*
(Edi Basuki)
Sumber: Edi basuki (BP-PNFI Reg. IV Surabaya)
Fair